Anda pasti pernah diantar Si Burung Biru ini. Entah ke bandara, pusat perbelanjaan, maupun untuk urusan bisnis Anda. Armada taksi Blue Bird memang mendominasi di kota-kota besar di Indonesia. Layanan yang diberikannya juga sangat mudah. Anda cukup telepon atau order melalui aplikasi, driver akan datang menjemput Anda dan mengantarkan Anda ke tempat tujuan.
Di balik kesuksesan Si Burung Biru melintasi zaman ini, pernahkah Anda terpikir siapa sosok yang ada di belakangnya. Ternyata, pendiri taksi Blue Bird adalah seorang wanita bernama Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono yang dilahirkan di Malang pada 17 Oktober 1921.
Mutiara dilahirkan dari keluarga berada. Namun, saat ia berusia 5 tahun keluarganya bangkrut. Kehidupannya berubah drastis. Ia harus hidup prihatin. Untuk menghibur diri, Mutiara kecil lalu membaca kisah legendaris “Kisah Burung Biru” atau “The Bird of Happiness”. Kisah inilah yang membuat semangat hidupnya membara. Ia tidak lagi meratapi duka yang dialaminya. Namun, bangkit untuk menggapai masa depan yang lebih indah.
Dengan tekad dan perjuangan yang gigih, Mutiara berhasil masuk ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat kuliah itu, ia kemudian menemukan jodohnya. Ia dinikahi oleh Djokosoetono, dosennya sendiri. Mutiara dan Djokosoetono kemudian dikaruniai tiga anak. Kehidupan keluarganya berlangsung sederhana. Untuk menambah penghasilan, Mutiara berjualan batik door to door. Tak ada gengsi, tak ada malu, tak ada rasa takut direndahkan oleh sesama isteri pejabat tinggi. Semuanya dilakukan murni sebagai kepedulian isteri untuk membantu suami mencari nafkah.
Saat penjualan batiknya menurun, Mutiara kemudian beralih berdagang telur di depan rumahnya. Saat itu telur belum masih dianggap sebagai makanan eksklusif yang hanya dikonsumsi orang-orang menengah ke atas. Mutiara mendapatkan pemasok telur terbaik dari Kebumen. Kemudian menjualnya di rumahnya. Perlahan-lahan usaha telur Mutiara terus meningkat.
Namun di sisi lain, penyakit suaminya, Djokosoetono tak kunjung sembuh, sampai akhirnya wafat pada tanggal 6 September 1965. Tak berapa lama setelah kepergian suaminya, PTIK dan PTHM memberi kabar yang cukup menghibur keluarga. Mereka mendapatkan dua buah mobil bekas, sedan Opel dan Mercedes. Disinilah awal lahirnya Taksi Blue Bird.
Bermodalkan dua mobil tersebut dan dibantu ketiga anak dan menantunya, Mutiara memulai bisnis taksinya. Saat itu taksinya masih termasuk taksi gelap karena masih menggunakan plat hitam. Namun uniknya, usaha taksi tersebut sudah menggunakan penentuan tarif sistem meter yang kala itu belum ada di Jakarta. Untuk order taksi, Mutiara menggunakan nomor telefon rumahnya. Karena anaknya, Chandra, ditugaskan menerima telepon dari pelanggan, maka orang-orang menamakan taksi itu sebagai Taksi Chandra. Taksi Chandra yang hanya dua sedan itu kemudian melesat popular di lingkungan Menteng karena pelayanan yang luar biasa. Order muncul tanpa henti. Dari hasil keuntungan itu, Mutiara kemudian membeli mobil lagi.
Permintaan Taksi Chandra terus mengalir. Titik layanan kian melebar, tak hanya di daerah Menteng, tebet, Kabayoran Baru dan wilayah-wilayah di Jakarta Pusat, tapi juga sampai ke Jakarta Timur, Barat dan Utara. Pada tahun-tahun menjelang 1970 realita membuktikan bahwa mereka mampu membesarkan armada dan mendulang keuntungan yang signifikan. Mereka bisa menambah jumlah mobil sendiri lebih dari 60 buah.
Memasuki dasawarsa 70-an, Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta saat itu mengumumkan Jakarta akan memberlakukan izin resmi bagi operasional taksi. Peluang ini pun direspons Mutiara. Pada tahun 1971 dengan semangat Mutiara segera berangkat ke DLLAJR untuk mendapatkan surat izin operasional bisnis taksinya. Namun ditolak karena alasan bisnis taksinya masih kecil.
Tapi, Mutiara tidak putus asa. Berulang kali ditolak, membuatnya mencari cara lain untuk mendapatkan izin. Ia kemudian mengumpulkan isteri janda pahlawan yang telah menitipkan mobil mereka untuk dikelola sebagai taksi. Diajaknya para janda pahlawan untuk bersama-sama menyerukan petisi kemampuan perempuan dalam memimpin usaha. Mereka mendatangi kantor gubernur dan menghadap langsung Ali Sadikin. Menghadapi orasi Mutiara, Ali Sadikin tersentuh dan menetapkan agar Mutiara diberikan izin usaha untuk mengoperasikan taksi..
Akhirnya Mutiara dan anak-anaknya mencari nama dan logo taksi. Ide lagi-lagi datang dari Mutiara, taksinya diberi nama Blue Bird. Dengan logo sederhana berupa siluet burung berwarna biru tua yang sedang melesat, hasil karya pematung Hartono. Logo itu seperti pencapaian yang membuktikan bahwa Mutiara mampu menghidupkan cita-cita yang diteladankan kisah The Bird of Happiness.
Kini Blue Bird telah telah berkembang. Terbangnya semakin tinggi dan telah menjangkau berbagai kota di Indonesia. Armada yang dimilikinya sudah lebih dari 20.000 unit. Karyawannya sudah lebih dari 30.000 orang. Setiap bulan 9 juta penumpang dapat dilayani dalam oleh armada Blue Bird di sejumlah kota di Indonesia. Blue bird pun telah memiliki anak perusahaan seperti Pusaka, Silver Bird Executive Taxi, Golden Bird Car Rental, Iron Bird Logistic dan Big Bird Bus.
Baca Juga: